top of page

Tokoh Aku dan Mimpi-Mimpi Miring di Jam Empat Pagi



Aku terbangun di jam empat pagi, sebab hidup menjadi seorang perempuan membuatku dipenuhi rasa was-was. Maklum, begitulah hidup di dalam rasa takut. Tetapi tak mengapa, ada enaknya juga terbangun di jam empat pagi, meski jam-jam seperti ini adalah jam yang rawan. Sebab ketika aku sudah terbangun, apalagi di jam empat pagi begini, maka aku tak akan bisa tidur lagi. Seakan-akan ragaku yang semula ada di alam tidur langsung ditarik ke dunia nyata, kembali bertemu dengan kenyataan bahwa nyatanya aku masih ada di dunia. Dunia di jam empat pagi begitu dingin dan gelap. Karena tidak bisa kembali tidur, maka dingin dan gelapnya jam empat pagi membuat diriku tenggelam dalam dunia imaji.


Karena tidak tidur dan kini terjaga di jam empat pagi, lantas aku bermimpi. Berangan-angan begitu, lah. Mimpi apa saja asalkan mimpi yang tinggi. Aku bermimpi menjadi burung, sebab betapa nikmatnya menjadi burung! Menikmati desiran angin, berkelana di lautan biru langit, mengepakkan sayap menembus gumpalan awan putih. Tiada rasa sedih dan khawatir. Kutinggalkan segala masalahku di dunia, kutinggalkan kenyataan yang pahit. Aku pergi terbang menembus langit.


Tetapi ketika asyik bermimpi demikian, kenyataan menampar pipiku, sebab tiada mungkin manusia bisa menjadi burung. Lalu aku mengganti mimpiku, lantas aku ingin menjadi dinding, sebab betapa enaknya menjadi dinding! Dinding, kan, kerjaannya hanya diam dan bergeming. Tak ada manusia yang bisa mengusik, sebab aku hanya menjadi keheningan berwujud tempat sandaran punggung-punggung manusia tanpa berisik. Tak ada tenaga yang harus dikeluarkan setiap harinya, sebab aku hanya menjadi dinding. Tetapi lagi-lagi kenyataan menampar pipiku, sebab tiada mungkin manusia yang tercipta dari darah dan daging hidup menjadi dinding.


Karena sudah dua kali bermimpi dan mimpi-mimpi itu ternyata mimpi sinting, lantas aku membuat mimpi yang lain. Di hidupku sebagai perempuan biasa-biasa saja ini, sejujurnya mimpiku hanya bisa menjadi diriku sendiri. Sebab sulit sekali rasanya hidup dengan perasaan was-was, hidup dalam rasa ragu dan takut, sulit menjadi diri sendiri. Rasanya di setiap langkah, setiap napas, setiap kedipan, setiap gerakan tubuh yang kulakukan semua orang menguji dan mengkritik. Ah, begitulah dunia ini. Tiada ampun dan serba miring. Dunianya miring, orang yang tinggal di dalamnya juga miring. Tidak terkecuali aku, aku juga miring. Sudah miring, punya mimpi sinting lagi. Otomatis mimpi sinting itu juga ikut jadi mimpi miring.


Tetapi tidak ada salahnya mimpi miring-miring, kan? Sebab pepatah menyuruh orang untuk bermimpi tinggi-tinggi. Masa mimpi tinggi boleh, mimpi miring tidak boleh? Tetapi mimpi miringku ini adalah mimpi sederhana. Aku ingin hidup menjadi diriku sendiri. Hidup di dalam warnaku sendiri, sebab hidup di dalam penuh sukacita tentu rasanya enak sekali.


Kulirik jam dinding. Lho, masih jam empat pagi. Apa jangan-jangan sekarang ini aku sedang berada di alam mimpi? Ah, entah. Kupejamkan mataku, berusaha untuk kembali mengistirahatkan diri. Sudah cukup mimpi-mimpi miringnya di pagi ini. Semoga saja ketika bangun nanti, mimpi-mimpi miring yang sederhana itu terjadi. Kalaupun tidak terjadi, ya tidak apa-apa, sih, toh namanya juga mimpi. Bangun dan berdiri saja, lah, sambil pelan-pelan mewujudkan mimpi-mimpi itu.


64 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page