top of page
Ramos M. Y. S

Semalam Aku Bermimpi Menjadi Anjing

Updated: Aug 28, 2022

Oleh: Ramos

Semalam, aku bermimpi menjadi anjing. Anjing yang ringkih. Bulunya tipis dan jarang-jarang, sehingga aku dapat merasakan dinginnya angin malam menerpa tubuhku. Seandainya tadi malam aku menyempatkan diri untuk melihat wujud anjingku lewat kaca, mungkin akan terlihat menyedihkan sekali. Entah apa yang terjadi, aku juga heran, kok bisa-bisanya tiba-tiba aku berubah jadi anjing. Absurd sekali mimpi itu.


Tetapi meski masih kalut dalam perasaan absurd, aku rasa wujud anjing itu tidak buruk juga. Tiada salahnya sesekali memandang dunia lewat persepsi makhluk hidup lain, sebab seringkali manusia hampir tidak pernah memikirkan makhluk hidup lain. Nyatanya manusia adalah ciptaan yang egois. Selalu memikirkan diri sendiri, selalu penuh dengan sifat keakuannya. Seringkali di malam-malam yang hening dan sepi, aku terbangun lalu memikirkan, seperti apa ya rasanya hidup menjadi binatang. Atau, bagaimana rasanya hidup menjadi tumbuhan? Kayaknya lebih enak hidup jadi tumbuhan ketimbang jadi manusia. Soalnya kan tumbuhan tidak perlu bangun dan bekerja, kalau manusia siklus kehidupan setiap harinya harus seperti itu. Atau kalau hidup jadi binatang kayaknya hidup akan terasa lebih sederhana, tidak perlu pusing-pusing memikirkan ucapan-ucapan orang lain tentang diri kita. Tetapi ketika sedang asyik berandai ngawur begitu, terkadang aku jadi merasa aneh sama diri sendiri. Bukannya tidur, malah mengkhayal tidak jelas begitu. Tetapi sehabis memarahi diri sendiri seperti itu, nyatanya aku tak kembali tidur, aku akan terus berandai-andai sampai waktu menunjukkan pukul empat pagi.


Di mimpi yang absurd itu, kubawa diriku yang berwujud anjing itu keluar dari rumah, menelusuri gelapnya malam. Kehidupan di malam hari terasa begitu berbeda dari waktu-waktu yang lain. Malam seakan-akan memiliki dimensi waktunya sendiri, di mana waktu tidak benar-benar berhenti, manusia tidak benar benar beristirahat. Kubawa tubuhku yang kurus itu menyelinap masuk melewati gerbang halaman belakang rumah tetanggaku. Dari luar pintu belakang, sayup-sayup kudengar suara laki-laki dan perempuan saling berbicara. Percakapan antara suami dan istri. Membicarakan keadaan ekonomi. Membicarakan sekolah anak semata wayang mereka. Membicarakan makan apa besok. Membicarakan bagaimana caranya agar semua keresahan finansial ini berakhir. Lalu hening. Lalu samar-samar suara tangis. Segera kubawa diriku pergi, rasanya aku sedang menguping suatu hal yang tak patut aku kupingi.


Kaki-kakiku yang kurus dan ringkih membawa tubuhku ke sebuah toko kelontong. Ini toko kelontong langgananku, memang dia selalu buka 24 jam. Kulihat siapa yang berjaga, seorang anak kecil yang sedang berusaha menahan rasa kantuknya. Dia anak paling kecil si pemilik toko kelontong. Baru kelas 3 SD tapi sudah harus membantu orang tuanya berdagang. Seingatku dia punya abang, tetapi entah abangnya kemana. Kata orang-orang abangnya itu kabur dari rumah setelah ketahuan judi slot menggunakan uang toko kelontong. Mungkin setelah mimpi menjadi anjing ini berakhir, aku akan menghampiri bocah 3 SD itu. Aku ingin memberikannya uang saku, mungkin sepuluh ribu cukup. Hitung-hitung bisa ditabung atau langsung dibelikan jajanan, terserah dia. Dia pantas mendapatkan sepuluh ribu itu.


Setelah itu aku melanjutkan perjalananku. Kulihat di ujung jalan samar-samar siluet merah. Ketika mendekat, siluet merah itu berasal dari dress ketat yang dipakai oleh seorang perempuan. Perempuan yang cantik. Rambutnya panjang, terjuntai megah, nampaknya ia mengurus rambutnya dengan baik. Kakinya yang jenjang ditopang oleh sepasang sepatu hak yang tinggi, membuat setiap langkahnya menimbulkan suara tak-tak-tak! sepanjang ia menyusuri jalanan yang sepi. Aku memperhatikannya dalam diam. Mungkin ia baru pulang kerja. Menjadi pemandu lagu di karaoke plus plus di sebuah kota metropolitan tentu melelahkan. Kuharap dia bisa menemukan ketenangan setelah semua hingar bingar yang ia hadapi di tempat kerjanya tadi.


Seketika aku merasa lapar. Lapar yang sangat hebat. Kulihat ada warung makan yang masih buka. Kubawa diriku mendekat, berharap setidaknya diberikan makanan sisa dan air putih. Pemilik warung makan itu, seorang bapak-bapak bertubuh besar tengah terduduk bosan memandangi televisi. Kuberanikan diri untuk menyenggol kakinya, semoga saja hati kecilnya tersentuh melihat wujudku yang luar biasa jelek ini. Aduh, ternyata tidak. Bapak-bapak itu malah berteriak dan mengusirku. Kakinya yang besar menendang wujudku yang menyedihkan. Karena kaget akan rasa sakit yang sangat hebat, aku terlompat, terkaing-kaing berlari pergi menjauhi warung makan yang mengerikan itu. Awas saja, mulai detik itu aku tidak sudi mau makan di situ lagi!


Ah, aku lelah. Lebih baik aku pulang saja. Lagipula mimpi absurd seperti ini tidak akan berlangsung lama. Bulan terlihat begitu indah sepanjang aku memandangnya di perjalanan pulang. Seketika aku tersadar, betapa megahnya semesta ini dengan segala isinya.


Aku berjalan dalam keheningan malam, menelusuri trotoar yang berantakan, dipenuhi rerumputan liar dan lumut kering. Sedang menelusuri trotoar begitu, terbayang sekilas rasanya aku seperti tokoh utama di film-film saja. Tokoh utama yang tengah berada di sebuah titik balik hidupnya, lantas ia memutuskan untuk bepergian jauh dalam rangka mencari jati dirinya. Ia bertemu banyak orang, mempelajari banyak kehidupan, mengamati banyak pandangan, lalu sampai pada akhirnya ia menemukan dirinya sendiri. Dirinya yang sesungguhnya. Yaah, barangkali kalau si penulis naskah filmnya baik hati, maka si tokoh utama ini akan diberikan tokoh lain yang akan menjadi kekasih hatinya, sekaligus menjadi “sesuatu” yang menjadi “alasan” mengapa si tokoh utama bepergian jauh untuk mencari jati diri—klise-klise begitulah. Lalu mereka akan mengikat janji, lalu hidup bersama, dan melakukan perjalanan bersama.


Apakah mimpi absurd yang aku rasakan sekarang ini sama seperti naskah film itu? Entahlah. Mungkin kamu setuju, mungkin juga kamu tidak. Yang pasti, mimpi absurd ini nampaknya tidak akan bisa aku lupakan seumur hidupku.


Sesampainya di rumah, aku tidak pergi ke kamarku. Kubuka pintu kamar ibuku. Sosoknya yang teduh tengah tertidur pulas di atas kasur. Kupandangi sosoknya lama, lalu kubawa diriku berbaring di bawah kolong kasurnya. Hangat. Ibu begitu hangat. Tak lama, aku tertidur. Aku yang berwujud anjing itu.


Karmila tercinta,

Nyatanya mimpi absurd inilah yang menyadarkanku. Betapa megahnya kehidupan ini, Karmila. Kompleks dan berliku. Konyol sekali, aku baru menyadari betapa bermaknanya hidup ini setelah aku menjadi anjing. Kita, sebagai manusia, baru menyadari apa yang tidak tidak sadari sebelumnya ketika baru berada di posisi yang akan menyadarkan kita akan hal yang tidak kita pedulikan sebelumnya. Aku selalu merasa kehidupan ini tidak bermakna, tidak berujung, tidak memiliki arti. Aku dipenuhi rasa penyesalan, khawatir, takut, dan resah. Aku bangun dari tidur, beraktivitas, pulang, merenungi hidup, lalu tidur. Sebuah siklus yang membosankan. Mungkin yang berkuasa di atas sana tidak tahan melihat diriku menjalani hidup yang begitu-begitu saja, sehingga aku pun diberikan mimpi menjadi anjing, lantas baru aku tersadar akan apa yang tidak pernah aku sadari sebelumnya.


Menjadi anjing membuatku setidaknya sedikit lebih mengerti tentang diriku sendiri, dan orang-orang yang singgah dan pergi di dalam hidupku. Barangkali juga, mimpi menjadi anjing ini yang membuatku mampu mengerti dirimu, Karmila. Dirimu yang enigma. Dirimu yang dipenuhi kesendirian. Dirimu yang cantik. Dirimu yang pilu. Dirimu yang sendu.


Mungkin dua atau tiga hari nanti, setelah surat ini sampai ke kotak pos rumahmu, aku akan mampir. Tiba-tiba aku merasa begitu rindu padamu. Boleh-boleh nanti kita bercakap-cakap, menghabiskan waktu di teras rumahmu. Nyatanya mengobrol denganmu membuatku merasa begitu hidup, dan aku ingin terus merasakan kehidupan itu. Hidup yang sederhana, hidup yang hangat, hidup yang ada kamu di dalamnya.


89 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page