Sebegitu cintanya Aram terhadap susu, sampai-sampai jika mati dalam keadaan sedang meminum susu pun ia tak mengapa.
Sebab segelas susu putih yang segar, dingin, nikmat, lembut, sederhana, tidak muluk-muluk, tidak pernah marah, tidak pernah memandangnya sebelah mata, dan tidak pernah meninggalkannya di saat-saat kekosongan dan rasa sedihnya membuat Aram merasa ia begitu hidup. Ia ada. Ada. Tujuan hidupnya adalah meminum susu, sebab segelas susu putih yang dingin dan sederhana membuatnya merasa berarti di hidup ini. Segelas susu adalah alasan baginya untuk tetap bertahan.
Afeksinya terhadap segelas susu ini dimulai pasca lulus SMA. Selesai sudah masa-masa paling bahagia di dalam hidupnya. Tak ada lagi canda tawa, ekspresi lucu, dan suara-suara kawan-kawannya yang begitu membuatnya rindu akan kehidupan pelajar SMA yang sederhana, yang hanya ada untuk main dan belajar. Sebab di SMA Aram menemukan kawan-kawan yang begitu tulus, yang tidak pernah mempermasalahkan kekurangannya, yang selalu membuat Aram tertawa, pelarian sementara dari “kekosongan” yang bernama rumah. Namun waktu tiada ampun, sebab tanpa Aram sadari, sudah saatnya ia lulus dari SMA. Kini ia dan teman-temannya terpisah, sibuk dengan dunia baru masing-masing. Ada yang kuliah, ada yang bekerja, ada yang merantau, dan ada lah yang entah jadi apa.
Aram sendiri memulai hidupnya sebagai mahasiswa. Orang-orang bilang menjadi mahasiswa itu tidak mudah, dan hanya orang-orang terpilih yang dapat menyanggupinya. Aram sendiri tidak merasa seperti itu. Sebab baginya menjadi mahasiswa itu menganggur dengan gaya saja. Tetapi ia kuliah karena keinginan ibunya, sebab kata sang ibu: zaman sekarang kalau tidak berpendidikan nanti susah mau jadi manusia. Pada akhirnya, karena Aram menyayangi ibunya, maka ia menuruti apa kata ibunya. Jadilah ia sebagai mahasiswa. Namun kehidupannya sebagai mahasiswa juga biasa-biasa saja, tidak ada yang spesial. Ia merasa begitu terasingkan, sebab ia merasa tidak pernah bisa mendapatkan hubungan yang erat sesungguhnya di lingkungan kuliah. Di kuliah, orang-orang berinteraksi karena ingin mencari keuntungan saja, supaya bisa melalui hari-hari perkuliahan yang dipenuhi dengan tugas-tugas dan tetek bengek lainnya dengan aman dan tentram. Pulang ke rumah pun ia juga merasa kosong, sebab ia begitu merindukan kenangan yang sudah berlalu.
Di saat-saat penuh sendiri begitu, ketika Aram terbangun di suatu pagi yang sepi, sebab orang-orang rumah sedang pergi entah kemana, ia pergi ke meja makan. Di atas meja makan, didapatinya catatan kecil yang ditulis ibunya: Mama pergi dulu ke pasar. Ada susu putih di kulkas buat kamu. Aram yang merasa begitu haus tentu membuka kulkas. Sekotak kecil susu tersusun rapi di sebelah botol kecap dan sambal. Diraihnya susu itu, ditusuknya sedotan, diisapnya susu itu perlahan.
Susu yang dingin dan lembut itu masuk menyusupi tenggorokannya. Meninggalkan rasa ciri khas di rongga-rongga mulut dan papila-papila lidah. Di saat itu juga, Aram merasa terpenuhi. Ia merasa ada.
Tanpa ia sadari, air mata memenuhi pelupuk, lalu menetes bebas melewati pipi. Seketika ia menangis sesegukan. Seketika ia merasa segelas susu inilah yang mampu memenuhi kekosongan hatinya, sebab segelas susu yang dingin ini bersedia untuk masuk ke dalam tubuhnya tanpa penolakan, tanpa ragu, dan penuh ketulusan. Air matanya tidak berhenti menetes, seketika Aram begitu merindukan ibunya. Sebab rasanya segelas susu ini seperti sang ibu, penuh kelembutan, penuh kasih sayang, penuh kelapangan.
Sesampainya sang ibu dari rumah pun Aram masih menangis. Sang ibu yang jarang-jarang melihat anak semata wayangnya menangis seketika menghampirinya, lalu memeluknya dengan penuh kasih sayang, sembari bertanya, kenapa, nak? Kenapa menangis, Aram? Ada apa? namun Aram tak kuasa menjawab, ia hanya bisa menggeleng, balas memeluk sang Ibu, dan menggenggam sekotak susu di tangannya lebih erat. Ibu dan susu putih membuatnya merasa begitu berarti di kehidupannya yang sudah tidak ada warna lagi.
Masa-masa kuliahnya berlalu, kini Aram dihadapi dengan kenyataan yang lebih pahit. Lingkungan kerja. Aram menjadi orang dewasa yang membosankan, sama seperti orang-orang dewasa lainnya. Berangkat kerja jam 9 pagi, pulang jam 5 sore—monotonitas yang sulit disembuhkan. Aram tak lagi tinggal di rumah. Ia tinggal di kos-kosan sederhana yang lebih dekat dengan tempat kerjanya. Di kos-kosannya sesekali ia menangis karena merindukan ibu di rumah, sebab kini segelas susu yang sekarang ia sudah mampu beli setiap saat saja yang menemaninya di kos-kosannya yang penuh sepi itu. Dalam seminggu, Aram bisa membeli 6-8 kotak susu, semua ia minum habis seperti orang kehilangan kendali.
Namun di saat-saat tertentu, Aram menelepon ibunya, dan tak pernah tak kuasa menahan tangis setiap mendengar suara ibunya yang lembut dan penuh sayang,
“Mama, mama lagi apa?”
“Mama lagi jahit baju-baju dan seragam sekolah lamamu yang bolong-bolong, Nak. Nanti mau mama kasihkan ke orang yang membutuhkan. Kamu lagi apa?”
“Lagi di kos-kosan, Ma. Habis pulang kerja.”
“Kamu sudah makan?”
Belum, Ma. Rasanya tidak ingin makan, aku hanya ingin minum susu saja. “Sudah, Ma.”
“Bagus, lah, nak. Kuat-kuat kerja ya, nak.”
Mendengar itu, Aram tak kuasa menahan tangisnya. Ia hanya bisa menangis dan menangis, dengan segelas susu putih yang ia genggam erat-erat. Ibu selalu menyayangi dan peduli dengan dirinya yang penuh luka. Aku rindu Mama.
Tetapi di tengah-tengah rasa rindunya yang tidak pernah padam terhadap ibu, ia tentu tak bisa terus menerus pulang, sebab ia juga merasa tak pantas pulang ke rumah. Ia tidak pantas merepotkan sang ibu. Pikiran-pikiran yang dipenuhi rasa kesedihan dan keputusasaan ini memenuhi pikiran Aram, membuatnya menjalani hari dengan penuh kesusahan. Kini pelariannya semata adalah susu. Susu putih yang dingin dan lembut. Namun semakin sering ia mengonsumsi susu nyatanya susu itu ternyata tidak mempan juga. Aram, setelah bertahun-tahun bergantungan pada susu putih, merasa bahwa segelas susu putih yang dingin dan lembut itu pun juga tak mampu mengisi kekosongan di dalam hatinya.
Kini, di kehidupan umur dewasanya yang monoton dan penuh derai air mata, Aram merasa kehilangan yang begitu besar. Aram tidak tahu mengapa, dan tidak mengetahui apa jawaban atas rasa kehilangannya. Seperti inikah hidup yang sesungguhnya? Tiada ampun dan tiada rasa. Pun begitu, Aram tidak bisa untuk berhenti meminum susu, sebab meski susu itu tak lagi memberikannya rasa ketenangan dan rasa ada, susu itulah yang bersedia mengisi tubuhnya tanpa banyak omong dan tanya. Ia terus melahap habis susu itu, meski eksistensi segelas susu putih di dalam kehidupannya sudah lama tiada, bersamaan dengan dirinya yang sudah lama mati. Aram tak lagi ada. Tak lagi ada.
Коментари