Jika kau ingin menetap, maka menetaplah, dan jangan khawatir tentangku. Aku tidak sedang mencari tempat berteduh saat hujan, lalu pergi saat kembali terik.
Aku pernah memberanikan diri menatapmu di saat aku terlalu lelah untuk menghadirkan siapa pun dalam semestaku. Terlebih lagi, tatapanmu seolah meminta untuk aku selamatkan. Kau berjuang melawan waktu, melawan perih yang memborbardirmu kala itu. Dan kudekap dirimu penuh luka, di saat aku pun menahan lara.
Aku pernah mengabaikanmu demi menghindar dari kemelut luka yang berulang. Saat kau mengatakan bahwa kau juga terluka, kurasa kita sama, kupikir kau hadir dari sebagian diriku yang terasing. Kuyakinkan diriku berulang kali untuk menjawabmu dalam rangkaian takdir kita yang terkesan memaksa.
Aku pernah membiarkanmu menghabiskan waktumu sendiri yang tak pernah secara egois aku pertahankan untuk terus bersamaku yang abu-abu, namun kau memilih untuk tetap tinggal meski palung paling dalam terlukis jelas bayang kisah silammu yang tak kunjung memudar. Kau tetap tinggal meski tak pernah aku memintamu untuk membawaku jauh.
Aku pernah mencintaimu dengan hati-hati. Yang dengan segala keraguanmu harus aku penuhi agar tak lagi menghadirkan dia dalam kisah kita. Meyakinkan diriku berulang kali bahwa aku bukan pengganti, bukan menyandang nama sebagai bayangnya yang kaulihat pada diriku.
Aku pernah mempertahankanmu dengan sia-sia. Dibentur rasa percaya yang terkikis percuma karena kesalahanku tak pernah membuat maafmu bersemayam. Segalanya menjelma menjadi asing termasuk imagi yang pernah kita bangun bersama. Semua lebur dan luruh padahal dengan lantang pernah aku katakan padamu,
“Aku tidak ingin kehilangan siapa pun lagi”
Namun, lagi-lagi aku kehilangan di saat aku terlalu membenci menghadirkan sosok lain dalam hidupku. Kau menganggapku benalu yang menghancurkan rasa percayamu. Menyalahkanku karena telah menggerus inginmu untuk merasa nyaman dan aman. Kaupergi dan memaksaku untuk mengulang fase yang kubenci, melupakan.
Telah aku yakinkan diriku untuk percaya bahwa bukan kau yang menoreh luka sedalam itu jika bukan karena aku. Aku bertaruh melawan waktu bahwa kau masih seseorang yang aku pahami sebaik itu, kau yang tak pernah terlalu beralasan untuk sebuah perpisahan, kau yang takkan pernah menyuguhkan luka karena kautahu rasanya hancur lebur separah itu. Dirimu yang aku yakini seseorang yang hanya memilih satu untuk selamanya tanpa pernah meninggalkan seseorang dengan tanda tanya.
Meski akhirnya aku akui bahwa bukan aku yang satu untukmu. Kau menghukumku dengan menjadikanku pilihan yang pelik. Kau memilihku di saat kau tak dapat memilih siapa pun. Kau beranjak pada kisah yang sudah berakhir, yang pernah melenyapkan rasa percayamu. Kau melangkah dengan sembuh yang jalannya berupa pedihku. Kau melupakan kita, melupakan kebencianmu padanya, yang justru berbalik membenciku. Kau lupa bahwa aku telah jatuh terlalu dalam. Namun hasratmu justru berbalik pada kisah yang telah usang.
Aku mencoba mengingat kata yang kauucapkan tentangnya, bagaimana kau menatapnya dengan cinta, atau seberapa sering kau mengubur rindu untuknya dihadapanku. Dan bagaimana aku baru menyadarinya? Kau telah tenggelam dalam kisah silam, kau memulangkanku dengan pasrah, demi dia yang pernah menghancurkanmu dengan luka. Lantas, bagaimana dengan hadirku selama ini?
“Sebercanda itukah aku?”
Comentários