top of page

Indonesia Menanamkan Pembelajaran dengan Mengesampingkan Emotional Quotient dalam Mengolah Emosi


Perhatian guru belum cukup, melihat siswa Indonesia yang bervariasi, dengan tuntutan yang sama. Tetapi guru tidak diberikan kesempatan berkembang sesuai kebutuhan lokal. Guru memiliki kreativitas untuk melihat apa yang ada di lokal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal dan anak anak. Perlunya pemerintah memberikan ruang untuk menjalankan kesempatan itu karena guru merupakan profesi mulia dan terhormat yang sangat dekat dengan masyarakat.


Dunia pendidikan berperan penting untuk mendukung kemajuan guru. Sistem kompensasi yang tak selaras dengan kepentingan Indonesia di masa depan. Sama halnya dengan tuntutan birokratis, bukan mengembangkan kreativitasnya untuk mengajar. Hal yang diberikan kepada murid bukan pendidikan, melainkan pelajaran.


Naskah sunda mengatakan “Kalau mau belajar pertanian datanglah ke ahlinya, kalau mau cari ikan, datanglah ke ahlinya”. Adanya perioda yang penguasanya ketakutan dengan rakyat yang kritis, maka pendidikan betul betul ditekan dengan tidak boleh ada yang mengajukan hal kritis. Rasa ingin tahu yang ditekan, hal ini merupakan hal yang fatal. Dengan tidak timbulnya rasa keingintahuan tidak akan adanya kehausan dalam mencari ilmu. Daya saing pendidikan bukan tujuan, melainkan hasil dari pendidikan yang melahirkan orang yang berkompetensi. Dengan fokus pada pendidikan dengan orang orang yang kritis, imajinatif, dan kreatif. Mereka dengan bidang ilmunya menemukan cara tersendiri untuk bersaing.


Pendidikan memiliki makna lebih dalam dibandingkan pelajaran, Definisi orang berpendidikan mereka yang bisa berfikir, berimajinasi, dan bukan berpikir untuk diri sendiri tetapi dituangkan untuk kebaikan bersama. Berasal dari sistem tulis ditemukan di Mesopotamia Babylonia hingga melanjutkan pemikiran ilmu. Berpikir dengan perkembangan Filsafat Yunani, Barat, dan Asia. Pendidikan bukan hanya untuk diri sendiri, tapi alasan pendidikan mutlak sejak awal ketika negara berdiri adalah untuk menghasilkan warga negara yang bisa mengabdikan keilmuan untuk tujuan bersama.


Orang yang berpendidikan adalah orang yang mengerti betul tugas hidup di dunia, hidup bersama dalam suatu negara, bangsa, dan juga kemanusiaan. Mengerti posisinya dan apa yang dapat ia sumbangkan. Pendidikan menanamkan tanggung jawab dan ilmu yang dia pegang.


Kontribusi generasi muda sangat berpengaruh pada kepentingan komunal dan negara. Perlu adanya keterbukaan dengan menghadirkan atau mendatangkan hingga mencari pengajar berkualitas hingga luar negeri. Saat ini Indonesia terlalu takut pada peneliti asing, sangat tertutup akan adanya keterbukaan intelektual dengan negara lain. Dengan alasan adanya ketakutan karena kekhawatiran membawa kekayaan Indonesia keluar. Padahal ini merupakan kesempatan emas bagi Indonesia untuk dapat melakukan kerja sama. Dunia pendidikan semakin kita terbuka, semakin pula ilmu masuk tak perlu takut direbut. Ilmu semakin diketahui akan semakin berkembang.


Merobek individualitas menjadi kolaborasi dan kolektivitas. Nasionalisme yang sempit dan takut tanpa adanya kepercayaan diri harus dipecahkan. Membuka ilmu seluas luasnya akan mendapatkan kesempatan semakin besar dalam persaingan global.


Berkesempatan belajar memiliki privilege ke depan. Lebih penting bagaimana kita bersaing dengan negara besar memiliki representasi yang jauh lebih besar di negara maupun untuk membidik ilmu.


China sudah top sejak 5 ribu tahun jauh dari Indonesia, tetapi China masih haus mencari ilmu dimanapun dan kapanpun hingga saat ini. Berbeda dengan Indonesia memiliki rasa keingintahuan yang terbatas dan minim.


Orang berpendidikan adalah orang yang bisa mengolah pertarungan antara hasrat yang menggodanya tanpa batas dengan kemampuan berfikir untuk mengolah. Tidak hanya mengolah akal budi, harus juga mengolah batin dan emosi.


Menggabungkan kognitif dan emotif perkara mendasar pendidikan, mengingat manusia secara utuh. Martha Nussbaum mengatakan emosi dilahirkan melalui sastra dan seni. Rasa keingintahuan yang diisi dengan kognitif. Fisika kimia hanya fokus pada aspek problem solving yang melupakan kebutuhan batin kita.


Bahasa Indonesia dibagi menjadi sastra dan gramatika. Gramatika dipelajari lewat sastra. Sastra sangatlah cantik. Seni merupakan pilar peradaban dari sains, tech, dan kepercayaan. Kebudayaan dari seni dibentuk dari cara kita berfikir, bertindak, dan merasa. Hal ini sangatlah kurang dirasakan saat ini tepatnya dalam pola proses pendidikan di Indonesia.


Anak muda saat ini di advokasikan lebih divergen, dibandingkan konvergen. Semakin horizontal semakin mengantisipasi adanya blind spot, dengan itu dapat memitigasi hadirnya resiko secara sistemik. Indonesia sedikit miskonsepsi di era pasca kebenaran, feeling lebih penting daripada bukti empiris. Semakin tidak mau mencari akan sesuatu (penasaran).


Perubahan kebudayaan yang lebih dari teknologi digital (internet dan media sosial) bukan perangkat yang hanya memungkinkan sesuatu berkembang. Memungkinkan orang meluapkan emosi dan membagi emosi tanpa disaring. Menggerakan emosi orang lain dengan mengesampingkan data, lebih menarik perhatian. Informasi yang sudah terkena emosi akan sulit diubah. Pertimbangan masuk akal mengenai informasi tersebut tidaklah mudah karena emosi tidak tersentuh menurut filsafat Yunani.


Dengan itu pentingnya aspek emotif dimasukan dalam pendidikan di Indonesia dalam membentuk karakter dan kepribadian secara intelektual, sehingga mereka memahami posisinya dan dapat memberikan kebermanfaatan atas kebutuhan akan lingkungan sekitar, wilayan, banga, negara, hingga dunia.


10 views0 comments

Commenti


bottom of page